Senin, 04 Agustus 2008

SURAT SEORANG ISTRI

Buat saudara-saudaraku,

yang terlalu cepat menyimpulkan ANTI POLIGAMI


Menurut kalangan antipoligami, Islam sesungguhnya melarang poligami. Alasannya, di dalam surat al-Nisa’ ayat 3 poligami memang diperbolehkan. Akan tetapi itu bisa dilakukan apabila suami memenuhi syaratnya, yaitu harus adil. Sedangkan di dalam surat al-Nisa’ ayat 129 disebutkan: Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. Jika kedua ayat tersebut dipadukan, maka kesimpulan yang didapat adalah larangan poligami. Sebab, pada ayat pertama berisi kebolehan dengan syarat adil, sementara ayat lainnya memberitahukan bahwa manusia tidak akan berbuat adil, yang berarti manusia tidak akan dapat memenuhi syarat tersebut. Sebuah kesimpulan yang tampak logis. Namun, benarkah demikian?

Apabila kesimpulan itu benar, tentulah Rasulullah saw akan melarang sama sekali praktik poligami. Sebab apa pun alasannya, poligami hanya akan mengantarkan kepada laki-laki terjatuh kepada dosa lantaran tidak bisa berbuat adil. Pada hal kenyataannya tidak demikian. Riwayat-riwayat yang shahih dari Nabi saw justru membolehkan praktik poligami.

Ahmad dan al-Tirmidzi meriwayatkan bahwa Rasulullah saw memerintahkan kepada Ghailan bin Salamah yang memiliki 10 orang isteri untuk memilih 4 isteri di antara mereka dan menceraikan selebihnya ketika ia masuk Islam. Perintah yang sama juga ditujukan kepada Qais bin Tsabit yang beristeri 8 dan Naufal bin Mua’awiyyah yang beristeri 5. Hal ini menunjukkan bahwa Rasulullah saw tidak melarang kepada mereka untuk beristeri lebih dari satu. Hanya saja, sebagaimana ditetapkan dalam surat al-Nur ayat 3, tidak boleh melebih empat isteri.

Di samping itu, Rasulullah saw juga melarang seorang isteri yang menyuruh suaminya menceraikan madunya. Beliau saw bersabda: Seorang isteri tidak boleh meminta (suami) menceraikan saudaranya (madunya) agar ia dapat menguasai piringnya, tetapi hendaklah ia membiarkan tetap dalam pernikahannya karena sesungguhnya bagi dirinya bagian yang telah ditetapkan (HR Ibn Hibban dari Abu Hurairah ra).

Sikap Rasulullah saw itu jelas menunjukkan kebolehan poligami, sekaligus kesalahan kesimpulan kalangan antipoligami. Sebab, orang paling otoritatif dan dijamin tidak salah dalam menjelaskan makna al-Quran Rasulullah saw (lihat QS al-Nahl: 44).


Praktik Keliru Poligami Bukan Alasan

Sementara berbagai kasus kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi akibat praktik poligami sama sekali tidak bisa dijadikan sebagai alasan. Sebab, realitas itu terjadi karena praktik poligami tidak dijalankan sesuai dengan tuntunan Islam. Solusinya, tentu bukan melarang poligami, namun meluruskan praktik yang salah itu. Pula, kekerasan bukan monopoli keluarga poligami. Dalam keluarga monogami pun banyak ditemukan kekerasan. Apakah lantaran itu monogami juga harus dilarang?

Alasan bahwa wanita menjadi sakit hati dan tertekan karena suaminya menikah lagi juga tidak tepat. Perasaan tersebut hanya akan muncul akibat anggapan bahwa poligami sebagai sesuatu yang buruk. Dan itu terjadi karena kampanye masif yang dilancarkan kalangan antipoligami. Sebaliknya isteri menganggap poligami sebagai sesuatu yang baik, perasaan sakit hati dan tertekan akibat suaminya berpoligami tidak terjadi. Bahkan jika ia memahami poligami sebagai tindakan mulia, dengan sukarela dia mencari isteri bagi suaminya sebagaimana yang terjadi pada kalangan aktivis Islam.

Penggunaan alasan HAM untuk melarang poligami juga tampak aneh. Hak siapakah yang dilanggar ketika seorang suami memutuskan untuk poligami apalagi jika isteri pertamanya juga meridhai? Mengapa alasan serupa tidak digunakan untuk melarang praktik perzinaan dan perselingkuhan, malah dilokalisasi dan dilegalisasi? Padahal, perzinaan merupakan perilaku amoral yang menghancurkan masyarakat dan kehidupan.
Walhasil, tidak ada alasan yang dapat diterima atas penolakan poligami. Kita patut pun bertanya, ada apa poligami dilarang?

Matursuwun, pareng,,, Ngapuntene nggih,,,

Tidak ada komentar: