Senin, 04 Agustus 2008

POLIGAMI MENURUT YUSUF QARDAWI

Pandagan Dr. Yusuf Qardhawi

Tentang Poligami

Poligami pada Ummat Masa Lalu dan Pada Zaman Islam

Sebagian orang berbicara tentang poligami, seakan-akan Islam merupakan yang pertama kali mensyari’atkan itu. Ini adalah suatu kebodohan dari mereka atau pura-pura tidak tahu tentang sejarah. Sesungguhnya banyak dari ummat dan agama-agama sebelum Islam yang memperbolehkan menikah dengan lebih dari satu wanita, bahkan mencapai berpulah-puluh orang atau lebih, tak ada persyaratan dan tanpa ikatan apa pun.

Di dalam Injil Perjanjian Lama diceritakan bahwa Nabi Dawud mempunyai isteri tiga ratus orang, dan Nabi Sulaiman mempunyai tujuh ratus orang isteri.

Ketika Islam datang, maka dia meletakkan beberapa persyaratan untuk bolehnya berpoligami, antara lain dari segi jumlah adalah maksimal empat. Sehingga ketika Ghailan bin Salamah masuk Islam sedang ia memiliki sepuluh isteri, maka Nabi SAW bersabda kepadanya, “Pilihlah dari sepuluh itu empat dan ceraikanlah sisanya.” Demikian juga berlaku pada orang yang masuk Islam yang isterinya delapan atau lima, maka Nabi SAW juga memerintahkan kepadanya untuk menahan empat saja.

Adapun pernikahan Rasulullah SAW dengan sembilan wanita ini merupakan kekhususan yang Allah berikan kepadanya, karena kebutuhan dakwah ketika hidupnya dan kebutuhan ummat terhadap mereka setelah beliau wafat, dan sebagian besar dari usia hidupnya bersama satu isteri.

Tentang Adil

Adapun syarat yang diletakkan oleh Islam untuk bolehnya berpoligami adalah kepercayaan seorang Muslim pada dirinya untuk bisa berlaku adil di antara para isterinya, dalam masalah makan, minum, berpakaian, tempat tinggal, menginap dan nafkah. Maka barangsiapa yang tidak yakin terhadap dirinya atau kemampuannya untuk memenuhi hak-hak tersebut dengan adil, maka diharamkan baginya untuk menikah lebih dari satu. Allah berfirman: “Jika kamu takut berlaku tidak adil maka cukuplah satu isteri” (An-Nisa’:3).

Kecenderungan yang diperingatkan di dalam hadits ini adalah penyimpangan terhadap hak-hak isteri, bukan adil dalam arti kecenderungan hati, karena hal itu termasuk keadilan yang tidak mungkin dimiliki manusia dan dimaafkan oleh Allah. Allah SWT berfirman: “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isten(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung.” (An-Nisa’: 129)

Oleh karena itu, Rasulullah SAW menggilir isterinya dengan adil, beliau selalu berdoa, “Ya Allah, inilah penggiliranku (pembagianku) sesuai dengan kemampuanku, maka janganlah Engkau mencelaku terhadap apa-apa yang Engkau miliki dan yang tidak saya miliki.” Maksud dari doa ini adalah kemampuan untuk bersikap adil di dalam kecenderungan hati kepada salah seorang isteri Nabi.

Rasulullah SAW apabila hendak bepergian membuat undian untuk isterinya, mana yang bagiannya keluar itulah yang pergi bersama beliau. Beliau melakukan itu untuk menghindari keresahan hati isteri-isterinya dan untuk memperoleh kepuasan mereka.

Sistem Bermoral dan Manusiawi

Sesungguhnya sistem poligami yang diatur dalam Islam adalah sistem yang bermoral dan manusiawi. Manusiawi, karena Islam tidak memperbolehkan bagi laki-laki untuk berhubungan dengan wanita yang ia sukai di luar pernikahan. Dan sesungguhnya tidak boleh baginya untuk berhubungan dengan lebih dari tiga wanita selain isterinya. Tidak boleh baginya berhubungan dengan satu dari tiga tersebut secara rahasia, tetapi harus melalui aqad dan mengumumkannya, meskipun dalam jumlah yang terbatas. Bahkan harus diketahui juga oleh para wali perempuan tentang hubungan yang syar’i ini, dan mereka menyetujui atau mereka tidak menentangnya. Harus juga dicatat menurut catatan resmi di kantor yang tersedia untuk aqad nikah, kemudian disunnahkan mengadakan walimah bagi laki-laki dengan mengundang kawan-kawannya serta dibunyikan rebana atau musik sebagai ungkapan gembira.

Poligami merupakan sistem yang manusiawi, karena ia dapat meringankan beban masyarakat yaitu dengan melindungi wanita yang tidak bersuami dan menempatkannya ke shaf para isteri yang terpelihara dan terjaga.

Selain itu poligami dapat menghasilkan mahar, perkakas rumah dan nafkah. Keberadaannya juga dapat memberi manfaat sosial yaitu terbinanya bidang kemasyarakatan yang memberi produktivitas bagi ummat keturunan yang bekerja.

Anak-anak yang dilahirkan dari hasil poligami yang kemudian hidup di masyarakat sebagai hasil jalinan cinta yang mulia sangat dibanggakan oleh seorang ayah. Demikian juga oleh ummatnya di masa yang akan datang.

Sesungguhnya sistem poligami sebagaimana yang dikatakan oleh Doktor Musthafa As-Siba’i -rahimahullah– memberi kesempatan kepada manusia untuk menyalurkan syahwatnya dengan sah dalam batas tertentu, tetapi beban, kepayahan dan tanggung jawabnya tidak terbatas.

Maka yang demikian itu, sekali lagi, merupakan sistem yang bermoral yang memelihara akhlaq, dan sistem yang manusiawi yang memuliakan manusia.

Seruan untuk Menolak Poligami

Patut disayangkan bahwa sebagian Du’at Taghrib (Westernisasi) di negara-negara Arab dan Islam memanfaatkan data dari sebagian kaum Muslimin yang melakukan penyimpangan, sehingga mereka mengangkat suara mereka (vokal) untuk menutup pintu diperbolehkannya berpoligami secara mutlak. Mereka bekerja pagi dan petang dan terus menerus mempropagandakan tentang keburukan poligami. Di saat yang sama mereka diam seperti diamnya orang yang berada di kuburan -diam seribu bahasa– terhadap keburukan zina yang mereka perbolehkan dan diperbolehkan oleh hukum internasional Barat yang berlaku juga secara defacto di negara-negara Islam saat ini.

Beberapa mass media telah berperan aktif, khususnya film-film dan sinetron berseri untuk menanamkan kebencian terhadap poligami, terutama di kalangan kaum wanita, sehingga sebagian wanita lebih rela jika suaminya jatuh dalam perbuatan dosa besar yaitu zina, daripada harus menikah lagi.

Mereka benar-benar telah berhasil -dalam misinya- di sebagian negara-negara Arab dan Islam, berupa banyaknya pembuatan undang-undang yang mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah, yaitu poligami. Mereka mengikuti undang-undang Barat dan masih ada dari mereka yang terus berupaya untuk menyebarkannya di negara-negara lainnya. Celakanya lagi, dalam masalah ini mereka berusaha mengatasnamakan syari’at dan berdalil dengan dalil-dalil Al Qur’an yang diputarbalikkan.

Mereka beralasan bahwa di antara hak seorang walliyul amri (pemerintah) adalah melarang sebagian hal-hal yang diperbolehkan demi untuk memperoleh kemaslahatan atau menghindarkan kerusakan. Bahkan sebagian mereka ada yang terlalu berani untuk berdalil dengan Al Qur’an atas pendapatnya. Mereka mengatakan, “Sesungguhnya Al Qur’an mensyaratkan bagi orang yang ingin menikah lebih dari satu untuk memastikan bahwa dirinya akan mampu bersikap adil di antara para isterinya. Sehingga bagi siapa saja yang takut tidak bisa adil maka cukup dengan satu isteri, sesuai dengan firman Allah SWT: “Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja…” (An-Nisa’: 3).

Inilah syarat yang dijelaskan oleh Al Qur’an dalam masalah poligami, yakni adil. Tetapi Al Qur’an, menurut anggapan mereka, juga menjelaskan dalam surat yang sama bahwa adil yang disyaratkan di sini tidak mungkin bisa dipenuhi dan tidak mungkin bisa dilakukan. Itulah firman Allah SWT: “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung …”(An-Nisa’: 129). Dengan demikian (kesimpulan mereka) bahwa ayat ini menafikan apa yang sudah ditetapkan oleh ayat tersebut di atas. Yang benar bahwa sesungguhnya kesimpulan di atas semuanya tidak benar, dan tidak berdasarkan kritik ilmiyah yang benar.

Syari’at Tidak Membolehkan Apa Saja yang Mengandung Mafsadah Rajih (Keburukan yang Nyata)

Adapun pendapat yang mengatakan bahwa poligami itu menimbulkan kerusakan-kerusakan den bahaya-bahaya dalam rumah tangga dan masyarakat, ini merupakan suatu perkataan yang memuat kesalahan yang nyata.

Kita katakan kepada mereka bahwa syari’at Islam itu tidak mungkin menghalalkan atas manusia sesuatu yang membahayakan mereka, sebagaimana tidak mengharamkan kepada mereka sesuatu yang berguna bagi mereka. Bahkan suatu ketetapan yang ada pada nash dan penelitian bahwa syari’at Islam itu tidak menghalalkan kecuali yang baik dan bermanfaat, dan tidak mengharamkan kecuali yang kotor dan berbahaya. Inilah yang digambarkan oleh Al Qur’an dengan kata-kata yang mantap dan singkat dalam menyebutkan sifat Rasulullah SAW. Allah berfirman: ”….Yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi yang mereka segala yang baik dan menghararnkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka…” (Al A’raf:157).

Segala sesuatu yang diperbolehkan oleh syari’at Islam pasti bernilai manfaat yang murni dan segala sesuatu yang diharamkan oleh syari’at Islam pasti bernilai madharat murni atau yang lebih kuat, ini jelas sebagaimana disebutkan oleh Al Qur’an tentang khamr dan perjudian: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah, “Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfantnya. . .” (Al Baqarah: 219)

Inilah yang dipelihara oleh syari’at dalam masalah poligami, sungguh Islam telah menimbang antara faktor kemaslahatan dan mufsadah, antara manfaat dan bahaya, sehingga akhirnya memperbolehkan untuk berpoligami bagi orang yang membutuhkan dan memberikan syarat kepadanya bahwa ia mampu untuk memelihara keadilan, dan takut untuk berbuat penyelewengan dan kecenderungan yang tidak sehat. Allah SWT berfirman, “Jika kamu takut tidak bisa berbuat adil maka (nikahilah) satu isteri.” (An-Nisa’: 3).

Apabila kemaslahatan isteri yang pertama itu tetap dalam kesendiriannya dalam mahligai rumah tangga, tanpa ada yang menyainginya, dan dia melihat akan mendatangkan malapetaka jika tidak ada isteri yang kedua, maka merupakan kemaslahatan bagi suami untuk menikah lagi yang dapat memelihara dirinya dari perbuatan haram atau akan melahirkan seorang anak yang diharapkan dan karena sebab yang lainnya. Termasuk juga kemaslaharan isteri kedua adalah bahwa ia mempunyai seorang suami di mana ia dapat hidup di bawah naungannya dan hidup dalam tanggungannya, daripada ia hidup menyendiri sebatang kara atau menjanda.

Juga merupakan kemaslahatan masyarakat jika masyarakat itu memelihara orang-orangnya, menutupi aurat anak-anak gadisnya, di antaranya dengan pernikahan halal di mana masing-masing lelaki dan wanita saling menanggung beban tanggungjawab terhadap dirinya, isterinya dan anak-anaknya. Daripada harus menganut free sex gaya Barat yang anti poligami model Islam, sementara mereka memperbolehkan banyak teman kencan yang merupakan poligami amoral dan tidak manusiawi karena masing-masing dari kedua belah pihak menikmati hubungan tanpa ada beban, dan seandainya hadir seorang anak dari hubungan kotor ini maka itu merupakan tumbuhan syetan, tanpa ada bapak yang merawatnya dan tanpa keluarga yang menyayanginya serta tanpa nasab yang ia banggakan. Maka manakah bahaya besar yang harus dijauhi?

Selain itu isteri pertama juga dilindungi hak-haknya oleh syari’at dalam masalah persamaan hak antara dia dengan isteri yang lainnya di dalam persoalan nafkah, tempat tinggal, pakaian dan menginap. Inilah keadilan yang disyaratkan di dalam poligami.

Benar bahwa sesungguhnya sebagian suami kurang memperhatikan masalah keadilan yang telah diwajibkan atas mereka, akan tetapi kesalahan orang perorang dalam pelaksanaan bukan berarti pembatalan prinsip (hukum) dasarnya. Karena jika prinsip ini tidak diterima karena hal tersebut, maka syari’at Islam akan terhapus secara keseluruhan. Untuk itu dibuatlah standardisasi yang harus dilakukan.

Wewenang Waliyul Amri untuk Melarang Hal-hal yang diperbolehkan

Adapun sesuatu yang dikatakan oleh mereka bahwa ada hak atau wewenang pemerintah untuk mencegah hal-hal yang diperbolehkan, maka kita katakan, “Sesungguhnya hak (wewenang) yang diberikan oleh syari’at kepada waliyyul amri (pemerintah) adalah hak membatasi sebagian hal-hal yang mubah karena kemaslahatan yang lebih mantap di dalam sebagian waktu dan keadaan atau berlaku kepada sebagian orang. Dan bukan melarang secara mutlak dan selamanya, karena larangan secara mutlak –dan selamanya–itu mirip dengan “mengharamkan” yang merupakan hak dan wewenang mutlak Allah SWT. Inilah yang diingkari oleh Al Qur’an dari orang-orang ahli kitab, yaitu: ”… mereka menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah.” (At Taubah: 31)

Ada suatu hadits yang menafsirkan ayat tersebut, “Sesungguhnya mereka (para rahib) itu telah menghalalkan dan mengharamkan sesuatu atas kaum Ahlul Kitab, maka kaum itu mengikuti mereka (para rahib).” Sesungguhnya pembatasan terhadap yang mubah (hukum yang diperbolehkan), seperti melarang menyembelih hewan pada hari-hari rertentu, karena untuk memperkecil pemakaian, sebagaimana pernah terjadi di masa Umar RA. Seperti juga melarang menanam tanaman tertentu yang telah over produksi seperti kapas di Mesir, sehingga tidak boleh secara leluasa menanamnya melebihi biji-bijian (palawija) sebagai makanan pokok.

Seperti juga melarang para jendral atau para diplomat untuk menikah dengan wanita asing, karena takut terbongkarnya rahasia negara melalui wanita tersebut ke pihak lawan (negara lain).

Seperti juga melarang menikah dengan wanita-wanita Ahlul Kitab apabila dikhawatirkan akan membahayakan bagi para gadis Muslimah. Demikian itu di masyarakat minoritas Islam yang relatif kecil dan terbatas penduduknya.

Adapun kita, kita mendatangkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah SWT dan yang telah diizinkan secara nyata, baik oleh Al Qur’an maupun Sunnah Nabi-Nya dan dikuatkan oleh kesepakatan ummat, seperti talak dan poligami. Maka melarangnya secara mutlak dan selamanya, hal itu tidak termasuk pembatasan hal yang mubah seperti contoh-contoh yang kita kemukakan di atas.

Makna “Kamu tidak Akan Mampu Berbuat Adil diantara Isteri-istrimu”

Adapun berdalil dengan Al Qur’an Al Karim seperti ayat tersebut, itu merupakan pengambilan dalil yang tidak tepat dan ditolak serta tahrif (terjadi penyimpangan) terhadap ayat dari makna yang sebenarnya. Ini termasuk penuduhan buruk terhadap Nabi SAW dan para sahabatnya RA, bahwa mereka tidak memahami Al Qur’an atau mereka memahaminya tetapi mereka menentangnya secara sengaja.

Ayat yang dijadikan sebagai dalil inilah yang akhirnya membantah mereka sendiri, kalau saja mereka mau merenungkan. Karena Allah SWT telah mengizinkan untuk berpoligami dengan syarat harus yakin dapat berbuat adil. Kemudian Allah menjelaskan keadilan yang dituntut dalam surat yang sama, sebagaimana firman-Nya: “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung …” (An-Nisa’: 129)

Ayat ini menjelaskan bahwa sesungguhnya adil yang mutlak dan sempurna terhadap para isteri itu tidak bisa dilakukan oleh manusia, sesuai dengan tabiat (watak) mereka. Karena adil yang sempurna itu menuntut sikap yang sama dalam segala sesuatu, sampai masalah kecenderungan hati dan keinginan seks. Ini sesuatu yang tidak mungkin ada pada manusia. Ia pasti mencintai salah satunya lebih dari yang lainnya dan cenderung kepada yang satu lebih dari yang lainnya. Karena hati itu berada dalam tangan Allah, dan Allah senantiasa merubah-rubah sesuai dengan kehendak-Nya.

Oleh karena itu Nabi SAW berdoa setelah menggilir isteri-isterinya dalam masalah urusan zhahir seperti nafkah, pakaian dan menginap (bermalam) dengan doa beliau, “Ya Allah inilah pembagianku sesuai dengan apa yang aku miliki, maka janganlah Engkau murka kepadaku terhadap apa yang Engkau miliki dan aku tidak memilikinya .. . (yaitu hati).”

Oleh karena itu Al Qur’an mengatakan setelah firman Allah tersebut (”Dan kamu sekali-kali tidak akan mampu untuk berbuat adil di antara isterimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian”) dengan firman-Nya, ”…karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung.” Maksud dari ayat ini adalah bahwa sebagian kelebihan dalam masalah cinta itu dimaafkan, itulah kecenderungan perasaan.

Saya pernah mendengar dari Syaikh Imam Abdul Halim Mahmud –rahimahullah–bahwa ada seorang Muslim di negara Arab Afrika yang menikah secara rahasia dengan wanita kedua setelah isterinya yang pertama, dan ia melaksanakan aqad secara syar’i yang memenuhi syarat. Akan tetapi ia tidak disahkan oleh hukum yang berlaku di negaranya, bahkan dianggap sebagai pelanggaran hukum, sehingga membuat ia kebingungan ke sana ke mari. Akhirnya diketahui oleh polisi intelijen bahwa wanita itu istrinya, dan ia dijera pasal karena dianggap telah melakukan pelanggaran hukum.

Pada suatu malam ia ditangkap di rumah wanita itu dan dibawa ke pengadilan untuk diverbal karena dituduh menikah dengan isteri yang kedua.

Tetapi orang itu cerdik, maka ia katakan kepada para hakim, “Siapa yang mengatakan kepadamu bahwa itu isteri saya? Sebenarnya ia bukan isteriku, akan tetapi pacarku yang aku jadikan kekasihku yang aku kunjungi sewaktu-waktu.”

Di sinilah para hakim terkejut dan mengatakan dengan sopan, “Kami mohon maaf yang sebesar-besarnya karena kesalahfahaman kami yang terjadi, kami mengira ia isterimu, dan kami tidak tahu kalau ia sebagai sahabat saja.”

Akhirnya mereka melepaskan kembali orang itu, karena bersahabat dengan wanita dalam keharaman dan menjadikannya sebagai kekasih itu termasuk kebebasan pribadi yang dilindungi oleh undang-undang.

Pandangan Dr. Yusuf Qardawi ini lebih lengkap dapat dibaca dalam buku “Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur’an dan Sunnah” yang diterbitkan oleh Citra Islami Press, yang diterjemahkan dari judul : Malaamihu Al Mujtama’ Al Muslim Alladzi Nasyuduh

Tidak ada komentar: