Senin, 04 Agustus 2008

DEBAT POLIGAMI JADUL

    
DEBAT POLIGAMI MENJELANG KEMERDEKAAN RI          
 
Oleh: Adian Husaini 
 
Pada tahun 1937, seorang cendekiawan Muslim Indonesia bernama Mr. 
Yusuf Wibisono, menulis sebuah buku berjudul "Monogami atau Poligami: 
Masalah Sepanjang Masa". Aslinya, buku ini ditulis dalam bahasa 
Belanda dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Soemantri 
Mertodipuro pada tahun 1954. Karena tidak memiliki biaya, baru pada 
tahun 1980, buku Mr. Yusuf Wibisono ini diterbitkan.
 
Yusuf Wibisono sendiri tidak berpoligami. Ia adalah seorang tokoh 
Masyumi, tokoh ekonomi, keuangan dan perbankan. Dia pernah menjadi 
menteri keuangan pada 1951-1952 dan direktur sejumlah bank di Jakarta 
dan Yogya. Sebagai tokoh pers, dia adalah pemimpin redaksi Mimbar 
Indonesia. Jabatan penting lain yang pernah dipegangnya adalah rektor 
Universitas Muhammadiyah dan Universitas Tjokroaminoto. Tapi, 
hidupnya sangat bersahaja. Hingga istrinya meninggal, dia tidak 
memiliki rumah pribadi.
 
Meskipun buku ini ditulis Yusuf Wibisono saat menjadi mahasiswa di 
zaman penjajahan, buku ini tampak memiliki kualitas ilmiah yang 
tinggi, dan memberikan penjelasan yang komprehensif tentang masalah 
poligami, bukan hanya dari sudut pandang hukum Islam, tetapi juga 
memuat pandangan banyak ilmuwan Barat tentang poligami. Yusuf juga 
memberikan kritik-kritik terhadap sebagian ilmuwan dari kalangan 
Muslim, seperti Ameer Ali, yang menolak hukum poligami. Selain buku-
buku berbahasa Belanda, Yusuf juga merujuk buku-buku berbahasa 
Inggris, Perancis, dan Jerman. 
 
Beberapa tahun sebelumnya, pada 1932, seorang wanita bernama Soewarni 
Pringgodigdo, menulis satu artikel tentang poligami di Koran `Suluh 
Indonesia Muda'  yang memberikan kritikan keras terhadap poligami. 
Menurut Soewarni, poligami adalah hal yang nista bagi wanita, dan 
bahwasanya Indonesia merdeka tak akan bisa sempurna, selama rakyatnya 
masih menyukai lembaga poligami. 
 
Mr. Yusuf Wibisono memberikan bukti-bukti ilmiah tentang keunggulan 
pandangan Islam yang membuka pintu poligami dengan syarat-syarat 
tertentu. Sistem ini merupakan `jalan tengah' dari sistem perkawinan 
kuno yang tidak memberi batasan poligami atau sistem Barat yang 
menutup pintu poligami sama sekali. Dalam pengantarnya untuk edisi 
Indonesia, tahun 1980, Yusuf  Wibisono menulis bahwa, "Saya rasa umat 
manusia akhirnya akan dihadapkan kepada dua pilihan yang tidak bisa 
dihindari yakni poligami legal atau poligami tidak legal (gelap). 
Islam memilih poligami legal, dengan pembatasan-pembatasan yang 
mencegah penyalahgunaan kekuasaan kaum pria, sehingga lembaga 
poligami ini betul-betul merupakan kebahagiaan bagi masyarakat 
manusia, di mana dia sungguh-sungguh diperlukan.''
 
Salah seorang ilmuwan yang dikutip pendapatnya tentang poligami oleh 
Yusuf Wibisono adalah Georges Anquetil, pakar sosiologi Perancis, 
yang menulis buku setebal 460 halaman, berjudul "La maitresse 
legimitime" . 
 
Anquetil menulis dalam bukunya: 
 
“Suatu pertimbangan yang sudah cukup terlukis harus diingat-ingat dan 
diperkembangkan, yakni, mengapa semua orang-orang besar adalah 
penyokong poligami, seperti yang dinyatakan secara kritis oleh 
seorang pengarang dari buku Inggris : `’History and philosophy of 
marriege.” Bahkan, mereka yang hidup di bawah kekuasaan kemunafikan 
monogami, tidak mau tunduk kepadanya, tak pula mau taat kepada undang-
undang yang bersifat melawan kodrat; baik mereka itu filsuf, seperti 
Plato, Aristoteles, Bacon, Auguste Comte, atau perajurit seperti 
Alexander, Cesar, Napoleon, atau Nelson, atau penyair-penyair seperti 
Goethe, Burns, Byron, Hugo, Verlaine, Chateaubriand atau Catulie 
Mendes, maupun negarawan-negarawan seperti Pericles, Augustus, 
Buckingham, Mirabeau atau Gambetta. Apakah hasil daripada sistem yang 
munafik ini bagi orang-orang besar ini? Mereka dipaksa untuk selama-
lamanya menyembunyikan perasaan-perasaannya, selalu berdusta, baik 
terhadap istrinya sendiri maupun terhadap dunia yang mewajibkan 
mereka itu menyembunyikan anak-anaknya dan kurang menghormati mereka 
yang hanya merupakan maitressenya… Sebenarnya ialah, bahwasanya 
poligami yang semata-mata sesuai dengan hukum alam telah dilakukan 
pada setiap zaman karena hukum alam itu tetap saja, tetapi pikiran 
manusia dibuat demikian rupa, dan sangat suka kepada serba berbelit-
belit, sehingga bukannya ia memilih sistem yang semata-mata 
menguntungkan, akan tetapi justru memilih sistem yang penuh dengan 
dusta dan penipuan, yang membuat berputus asanya berjuta-juta wanita 
dan yang memaksanya hidup dalam kesedihan, kekacauan, atau dosa-dosa 
sebagai akibat dari hidup sengsara, terjerumus hidupnya dalam 
kemunafikan hewani, dan bahwa semua drama percintaan melahirkan 
turunan-turunan yang diliputi oleh perasaan iri hati yang pandir dan 
penuh kebencian, yang jumlahnya setiap harinya bertambah-tambah 
saja.”
 
Salah satu keuntungan poligami yang dijelaskan oleh Anquetil 
adalah: ”Poligami akan memungkinkan berjuta-juta wanita melaksanakan 
haknya akan kecintaan dan keibuan, yang kalau tidak, akan terpaksa 
hidup tak bersuami karena sistem monogami.” 
 
Yusuf Wibisono juga mengutip tulisan seorang ilmuwan bernama Leonard 
yang menulis: “In a great measure polygamy is much more a theoretical 
than a practical institution. Not one on twenty Moslems has even two 
wives. In any case it is not the proper and legitimate practice of 
polygamy, but in the abuse of it that the evil lies.” (Pada umumnya 
poligami lebih merupakan lembaga teoritis daripada praktis. Tidak ada 
satu dari duapuluh orang Islam beristri bahkan lebih dari seorang. 
Setidak-tidaknya keburukannya tak terletak dalam berpoligami menurut 
hukum, akan tetapi dalam penyelahgunaan poligami). 
 
Mr. Yusuf Wibisono kemudian menunjukkan bukti-bukti statistik 
perkawinan di berbagai negara Islam pada tahun-tahun itu. Di India, 
misalnya, 95 persen kaum Muslim tetap bermonogami. Di Iran, 98 
persennya tetap memilih bermonogami. Di Aljazair tahun 1869, dari 
18.282 perkawinan Islam, 17.319 adalah monogami, 888 bigami, dan 
hanya 75 orang Muslim yang mempunyai lebih dari dua orang istri. Di 
Indonesia -- menurut data statistik Indische Verlag tahun 1935 --  
dalam tahun 1930 ada 11.418.297 orang bermonogami dan hanya 75 orang 
Muslim mempunyai lebih dari dua orang istri. 
 
Buku Mr. Yusuf Wibisono ini menjadi lebih menarik karena pada tahun 
1937 sudah diberi kata pengantar oleh H. Agus Salim, seorang 
cendekiawan dan diplomat genius yang sangat dikagumi di dunia 
internasional.
 
Kiranya ada baiknya kita mengutip agak panjang pengantar H. Agus 
Salim tersebut: 
 
“Tidak bisa disangkal, pokok karangan ini aktuil. Tidak saja karena 
tindakan-tindakan luas di lapangan ini, yang dipertimbangkan oleh 
Pemerintah dan sebagian bahkan sudah dilaksanakan, akan tetapi 
terutama sekali juga karena adanya propaganda – baik yang terpengaruh 
oleh sikap anti-Islam, maupun yang tidak – yang dilancarkan oleh 
beberapa fihak. Mereka ini menganjurkan agar kepada perundang-
undangan perkawinan bagi bangsa Indonesia dan kepada anggapan-
anggapan tentang perkawinan pada umumnya diberi corak Barat.
 
Namun, bukannya tak diperlukan keberanian untuk memasuki lapangan ini 
dalam suasana yang penuh dengan anggapan-anggapan tersebut. Anggapan-
anggapan Barat ini terutama sekali merajalela di kalangan kaum 
intelektuil yang nasionalistis. Dan di lapangan ini tradisi dan 
sentimen Barat, yang `’dus beradab’ masih selalu berhasil mencekik 
kesaksian fakta-fakta serta suara hati nurani dan nalar yang wajar 
(logika).
 
Bahkan oleh karena inilah penulis patut mendapat penghargaan dan 
sokongan, sebab berdasarkan fakta-fakta yang telah ditetapkan oleh 
ilmu pengatahuan serta teori-teori yang kuat, ia berusaha menunjukkan 
kepalsuan moral seksuil dan etika perkawinan yang munafik, seperti 
yang dianut oleh masyarakat Barat, dan membela anggapan-anggapan 
tentang perkawinan maupun perundang-undangan perkawinan menurut agama 
Islam, tanpa memperindahkannya melebihi kenyataannya. 
 
Terutama sekali yang tersebut terakhir inilah yang patut dihargai. 
Akhir-akhir ini terlalu banyak dilancarka propaganda agama Islam yang 
bersifat menonjolkan “persetujuan” pihak Islam terhadap moral dan 
etika Barat, malahan moral dan etika yang terang-terangan 
bernada ”Kristen”, seperti yang lazim dianut di kalangan masyarakat 
Barat. Terlalu sering pula orang berusaha menyembunyikan ajaran-
ajaran Islam yang tak cocok dengan anggapan Barat dengan 
jalan “Umdeutung”, dengan menggunakan tafsiran yang dicari-cari. Ya, 
bahkan menghukum ajaran-ajaran itu sebagai bid’ah dan kufur. Itulah 
caranya mereka mencoba supaya Islam bisa diterima kaum muda yang 
meskipun berasal dari keluarga Islam, tapi karena pendidikan Barat 
dan simpati-simpati serta kecenderungannya yang ke-Barat-baratan 
menjadi terasing dari agama Islam. Selain dari pada itu, propaganda 
itu ditujukan pula kepada orang-orang yang tidak beragama Islam. 
 
Akan tetapi agama Islam sangat menyangsikan keuntungan yang diperoleh 
dengan menggunakan cara-cara semacam itu. Sebab dengan 
jalan `”menyesuaikan” agama Islam dengan anggapan-anggapan yang 
lazim dan berlaku dalam dunia Barat yang umumnya bersifat prinsipil 
anti Islam, yaitu dunia Barat yang mendasarkan “keunggulannya” 
kepada hal-hal yang berbeda dengan Islam – antara lain perundang-
undangan perkawinan berdasarkan monogami – maka hilanglah pula tujuan 
tertinggi agama Islam. Padahal, untuk inilah Nabi terakhir diutus 
oleh TUHAN, untuk membimbing umat manusia dari kegelapan ke arah 
cahaya pengetahuan dan kebenaran. Dengan demikian, bukanlah anggapan-
anggapan yang ada yang diuji dan disesuaikan dengan Islam, akan 
tetapi sebaliknya : Anggapan-anggapan itulah yang dipandangnya benar 
dan agama Islam diperiksa dari sudut anggapan-anggapan itu.”
 
Kata-kata Haji Agus Salim tersebut sangat mendasar untuk direnungkan. 
Apalagi, saat ini, begitu banyak kalangan yang berani menentang dan 
melecehkan Islam, juga dengan menggunakan ayat-ayat Al-Quran. 
Padahal, yang terpenting dalam memahami Al-Quran adalah 
soal ‘anggapan-anggapan’ atau cara pandang serta metodologi 
penafsiran yang digunakan. Jika Al-Quran dipahami dari perspektif 
Marxisme dan gender equality yang bersemangat ‘dendam’ terhadap laki-
laki, maka yang muncul adalah pemikiran-pemikiran yang bersemangat 
pemberontakan terhadap laki-laki, dalam segala hal. Orang-orang 
seperti ini akan mencari-cari ayat dan menafsirkannya sesuai 
dengan ’anggapan’ nya sendiri. 
 
Seorang sarjana satu perguruan tinggi Islam di Jakarta menceritakan 
pengalaman menariknya dimaki-maki wanita teman kuliahnya, hanya 
karena ia mempersilakan si wanita menempati tempat duduknya dalam bus 
kota. Si wanita mengaku terhina karena dianggap sebagai makhluk yang 
lemah. Bagi seorang wanita yang menolak hak kepemimpinan laki-laki 
dalam rumah tangga, maka dia bisa menganggap tindakan menyuguhkan 
minuman bagi suaminya adalah satu bentuk pelecehan dan penghinaan.
 
Amina Wadud misalnya menganggap penempatan shaf wanita di belakang 
laki-laki saat shalat adalah satu bentuk pelecehan terhadap wanita. 
Tentu cara pandang ini sangat berbeda dengan Muslimah yang mengakui 
konsep pengabdian dan ketaatan kepada suami.
 
Dalam soal poligami sama saja. Seorang wanita Muslimah yang memahami 
posisinya dalam konsep Islam,  akan melihat poligami dengan pandangan 
yang sangat berbeda dengan kaum feminis sekular. Sebagai wanita 
mandiri, si Muslimah akan melihat suaminya sebagai partner dalam 
menggapai ridho Allah; bukan sebagai milik pribadinya. 
 
Dia secara pribadi bisa keberatan dengan poligami terhadap dirinya, 
tanpa menolak hukum poligami. Dia bisa mengingatkan suaminya, bahwa 
poligami memerlukan kemampuan dan tanggung jawab yang tidak ringan, 
dunia akhirat. 
 
Sebaliknya, bagi laki-laki, poligami bukanlah hanya semata-mata hak, 
tetapi juga melekat tanggung jawab dunia dan akhirat. Selain dituntut 
kemampuan berlaku adil secara materi,  juga dituntut kemampuan 
menjaga seluruh keluaru
 
ganya dari api neraka. Tentu saja menjaga 4 
istri lebih berat daripada menjaga 1 istri; menjaga 20 anak tentu 
lebih berat ketimbang 2 anak. 
 
Karena itu, bagi seorang yang memiliki pandangan berdimensi akhirat, 
poligami adalah sesuatu yang berat, yang perlu berpikir serius 
sebelum mempraktikkannya. Islam mengizinkan dan mengatur soal 
poligami. Islam membuka jalan, dan tidak menutup jalan itu. Islam 
adalah agama wasathiyah, yang tidak bersifat ekstrim. Tidak melarang 
poligami sama sekali, dan tidak membebaskannya sama sekali. 
 
Jika pintu poligami ditutup sama sekali, maka tidak sedikit wanita 
yang menjadi korban. Sepanjang zaman,  banyak wanita yang ikhlas dan 
siap menjadi istri ke-2, ke-3  atau ke-4. Tidak percaya? Andaikan 
suatu ketika,  pihak istana negara BBM mengumumkan, Sang Presiden 
yang gagah perkasa membuka lowongan bagi istri ke-2, ke-3, dan ke-4, 
bisa diduga, dalam beberapa jam saja, ribuan wanita dengan ikhlas 
akan antri mendaftar.
 
Maka, bagi seorang wanita Muslimah sejati, yang menyadari kemampuan 
suaminya untuk berpoligami, tentu tidak sulit mengizinkan suaminya 
menikah lagi. Yang banyak terjadi saat ini, ternyata banyak suami 
yang tidak berpoligami, karena takut terhadap istri. 
 
Wallahu a'lam. 
 

Tidak ada komentar: