KEADILAN DALAM POLIGAMI: SYARAT Atau ANJURAN?
Pengertian adil dalam budaya Indonesia, sebenarnya berasal dari kata Arab ‘adl. Dalam al-Qur’an pengertian adil paling tidak diwakili oleh dua kata, yaitu ‘adl dan qisth. Kata a-d-l disebut sebanyak 14 kali dalam al-Qur’an, sedangkan kata q-s-th diulang sebanyak 15 kali. Kedua istilah itu disebutkan secara bersamaan dalam surat an-Nisa’ ayat 3. Dalam bahasa Arab kata ‘adl (adil) dan moderasi, kebersahajaan, keseimbangan dan keselarasan secara etimologis dan semantik bermakna sama. Lawan kata ‘adl adalah zulm (penyelewengan) atau perbuatan aniaya. Menurut M. Quraish Shihab, kata ‘adl dan qisth diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi adil. Namun, ada sebagian ulama yang membedakan kedua kata tersebut dengan mengatakan bahwa, kata ‘adl adalah berlaku baik terhadap orang lain maupun diri sendiri, tetapi keadilan itu bisa saja tidak menyenangkan salah satu pihak. Sedangkan kata qisth adalah berlaku adil di antara dua orang atau lebih, keadilan yang menjadikan keduanya senang.
Berkaitan dengan pengertian ‘adl dan qisth tersebut, hal yang paling mendasar dalam konteks poligami adalah upaya untuk memperoleh keseimbangan tata sosial-moral. Al-Qur’an melihat bahwa kenyataannya, poligami seringkali menjadikan suami cenderung berlaku tidak adil kepada para istri. Memang benar, perilaku poligami secara umum memiliki kecenderungan-kecenderungan kepada perbuatan aniaya. Hal ini tentu bertentangan dengan keseimbangan tata sosial-moral di atas. Akan tetapi, tidak benar jika hal itu berarti bahwa poligami syarat dengan keadilan. Sebab, berbuat adil adalah standar minimal bagi perilaku manusia, apakah dia sebagai saksi, penguasa, atau “orang biasa”. Sebagaimana Allah menekankan hal yang sama kepada seorang penguasa atau hakim untuk berbuat adil kepada siapapun, di manapun dan kapanpun. Karenanya, seruan berlaku adil tidak hanya ditujukan kepada mereka yang berpoligami, akan tetapi juga kepada seluruh umat manusia.
Dalam konteks poligami, seruan itu dimaksudkan agar di dalam diri si suami senantiasa ada perjuangan (jihad) untuk berlaku adil kepada para istri, serta menjadikannya sebagai titik penekanan, tetapi bukan syarat. Artinya, meskipun keadilan dalam poligami sangat ditekankan oleh al-Qur’an dan sangat penting, namun praktiknya diserahkan kepada individu-individu dan kebaikan si suami. Sebab, keadilan dalam poligami sesungguhnya merupakan suatu anjuran dan saran yang perlu diperhatikan oleh siapapun yang ingin berpoligami bukan sebagai syarat mutlak atau bahkan ancaman. Apalagi jika dilihat dari sudut pandang normatif, keadilan terhadap para istri yang memiliki posisi lemah ini tergantung kepada kebaikan suami, walaupun pasti akan dilanggar, karena keadilan yang mutlak tidak dapat diwujudkan. Individu-individu (suami) itulah yang akan mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan Tuhan, bukan diatur di dalam undang-undang. Jika dianalogikan, keadilan dalam poligami seperti halnya ibadah puasa dan tayammum. Dialah yang paling mengetahui kondisi dirinya, apakah penyakitnya akan bertambah jika berpuasa atau menggunakan air. Meskipun demikian, sebagai keseimbangannya, Islam memberikan hak kepada kaum perempuan (para istri) untuk meminta pertolongan dengan mengajukan perceraian, apabila terjadi penganiayaan atau kekejaman oleh suami terhadap mereka. Dan jika penganiayaan itu berlarut-larut serta tidak ada jalan lain lagi untuk mencegahnya, maka undang-undang boleh memutuskan tali pernikahan dengan perceraian.
Demikianlah, posisi keadilan dalam poligami yang tidak lebih dari sekedar anjuran dan saran yang ideal. Maka, layaknya sebuah anjuran dan saran, seseorang tidak perlu takut, justru dia harus berlomba memacu dirinya untuk menjadi yang lebih mendekati idealitas keadilan yang dikehendaki oleh Allah atau bahkan menjadi yang paling berprestasi di hadapan Allah dari pada yang lain. Tujuannya adalah agar tidak terjerumus kepada tindakan aniaya sebagaimana yang telah disarankan di dalam al-Qur’an.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar